LOMBA BACA PUISI SE- SULTRA III 2010

pedoman

Jumat, 19 Maret 2010

PUISI LOMBA

Sajak-Sajak Irianto Ibrahim

PERJAMUAN


berapa luka yang kau minta
sedanau darah atau secangkir nestapa

di dada, sesayat jantungku
sudah kuhidang di meja makan
kutambahkan air mata setia
penyedap rasa dan aroma kesukaanmu

apa kau minta juga mimpiku
sekerat angan yang kusimpan di bawah bantal
tempat kubaringkan kepalaku yang sudah kosong
sebab katamu, dendeng otaklah
yang paling kau gemari

berapa iga lagi yang kau perlu
sepasang paru atau sumsum tulang belakang
sebagai sop yang kau didihkan sepanjang hari
sepanjang jalan pulang yang sudah kulupa alamatnya

kumohon, jangan lidahku
jangan ambil lidahku
karena dia menerjemahkan
detak dalam dadaku


Kendari, 2007


Sajak-Sajak Irianto Ibrahim

BACA SAJAK MALAM


bila bukan karena malam
tak kuminta sajak itu kau bacakan
sulit bagiku memandang langit hampa
tanpa suara dan gegar semangatmu

atau begini saja:
kuhitung sekali lagi deretan mayat ini
lalu setiap sampai aku di hitungan sepuluh
satu baris sajakmu bacakan untukku
aku ingin tertawa
bahkan kalau bisa sebabas-bebasnya tertawa
sambil kulanjutkan hitunganku
sambil kau lanjutkan sajakmu

meski aku tahu
sampai lelahpun aku tak mungkin sanggup menghitung
tapi gairahku selalu menyala setiap kali sajakmu berdendang
ada rasa terpana
persis tabuhan bersambut berirama
ingin kugenggam jemarimu – menarik tanganmu
kita berdansa dan tertawa
engkau membaca sajak
dan aku
mengitung mayat-mayat


Kendari, 2007



































































Sajak- Sajak La Ode Balawa

INDONESIA MENANGIS

dulu ketika kita masih anak-anak
tak berdaya dijajah Belanda dan Jepang
kulihat Indonesia menangis pada Tuhan
dukanya sangat dalam melihat kita tercerai berai
terkoyak
penuh luka
penuh ketakutan
penuh keputusasaan

demi ketulusan kita pada kebenaran dan keadilan
Tuhan lalu mengusap air mata Indonesia
seluruh jagad raya tertegun kagum
tersipu malu pada Nusantara

daratan jadi ragu meluapkan banjirnya
laut jadi ragu menghempaskan gelombangnya
gunung-gunung jadi ragu memuntahkan laharnya
langit jadi ragu melintaskan badainya

kini ketika kita terkulai lemah
tak berdaya dilanda bencana berkepanjangan
kulihat Indonesia kembali menangis pada Tuhan
lantaran Tuhan tak percaya lagi pada ketulusan kita
mengurus kebenaran dan kejujuran
keadilan dan kemanusiaan

karena mabuk kekuasaan dan uang
kejujuran dan keadilan jadi mainan menjijikkan
bohong dan fitnah dimuntahkan di mana-mana
kebenaran dan kemanusiaan terinjak-injak
dalam kerusuhan Aceh
kerusuhan Ambon
kerusuhan Poso
kerusuhan kita

Indonesia menangis
kecewanya sangat dalam
batinnya ingin berkata:
kalian sungguh keterlaluan
kubawakan kemerdekaan
kalian rampas dengan permusuhan dan pembunuhan
kutitipkan tanah tumpah darah
kalian hanyutkan ke lautan pertumpahan darah
antara kalian bersaudara
kalian sungguh keterlaluan

demi kembalinya ketulusan pada kita
Tuhan kembali mengusap air mata Indonesia
namun seluruh jagad raya berguncang keras
geram pada Nusantara

Aceh dan Pangandaran luluhlantak diterjang gelombang tsunami
Sinjai tercabik-cabik diamuk banjir bandang
Yogyakarta rubuh diguncang gempa bumi
Sidoarjo tenggelam ditelan lumpur panas lapindo

Indonesia menangis
hatinya teriris-iris
batinnya ingin berkata:
demi anak yang kehilangan ayah dan ibu
demi ibu yang kehilangan suami dan anak-anaknya
demi Indonesia yang hampir kehilangan segala-galanya

hentikanlah pertumpahan darah
di antara kalian bersaudara
bangunlah kebenaran keadilan dan kemanusiaan
di atas segala bencana ini

Kendari, Desember 2006

























Sajak-Sajak La Ode Balawa

DEMI PENDIDIKAN ANAK-ANAKKU


demi pendidikan anak-anakku
relakan aku pergi merantau
melintasi tujuh pulau
tujuh selat
tujuh samudera

demi pendidikan anak-anakku
kulihat tangis rindu anak istriku
yang tertinggal di pantai
kuhempas segala cintaku
pada segala angin terus menderu
pada segala ombak yang tersu berdebur
pada segala badai yang terus melintas

duhai anak-anakku
dem Tuhan yang ayah ajarkan
jangan lupa sampaikan rinduku
pada debur ombak belakang rumah kita
pada ibumu yang emnanti di pantai

bila pelayaran ini tak sampai anak-anakku
sampaikan pada ibumu
agar mau melepas rindunya
ke palung yang paling dalam
karena cintanya
telah kuukir di kaki langit

Kendari, Desember 2002
Sajak-Sajak Syaifudin Gani

Istirah di Lembah Mowewe
Untuk Jenny


perjalanan itu menderukan gemamu yang tandas
serupa raung mesin mengebor rahim mekongga
matamu pijar adalah puncak pinus
memergoki cakrawala.

aku istirah di lembah mowewe
merenungi pertemuan kita yang merah
di dermaga kolaka.
sambil meradang memandang nanah tanah
di keruk baja dan raja

hidup seumpama perahu menjala
lalu kalah terdampar di tebing senja.
o, betapa merdeka gelombang
bergulung lalu berguling
di dada-dada pantai
sementara kita membilang butir pasir yang rekat
di tubuh pendosa.

kau kenangkah
isyarat dan tabiat
berkobar di deru waktu
sebagian seumpama lintah
yang lain, haus darah
lapar daging?

lembah mowewe yang gaib, dingin dilingkari angin
aku memetik bunga merah
menancapkan di rambutmu, tembaga.
sebelum aus digerus gerigi
sebelum raib digasak hangus

aku istirah di lembah mowewe
di lembah matamu yangt meleleh


Mowewe, 13 Agustus 2007























Sajak-Sajak Syaifuddin Gani

Tepi Hayat

jantungku angin mataku langit
seribu taifun mortir aku sejuta pasir

ledakan-ledakan kepala menyoraki gaza
aku seliat baja engkau sebetulnya busa
dari mulutmu luka dirajah tuba

di liang-liang pasir tepi barat
meletus anyir sampai ke tepi hayat

aku kembali ke tengah mayat
dalam baiat dalam rakaat berpeluru safaat
kusongsong engkau sampai tepi kiamat

kau renggut tanah darah
kau reguk kembali di cangkircangkir neraka

nyala yang tumbuh di gaza
nyawa yang subur di palestina

Kendari, 23 Januari 2009







Sajak-Sajak Syaifuddin Gani

Wangi-wangi

di pulau-pulau terjauh
gemintang bergetaran
perahu-perahu menjauh
lampu-lampu bertangisan
karang-karang berlagu
angin timur berserakan

ombak membuih
gugur jua di pangkuan karang
pasir memutih
pudar dalam aduhan malam
batu-batu mendesis
dirayapi angin terang
pantai menangis
ditinggalkan jangkar nelayan

pangkal teluk merah dan memar
dirongrong persenggamaan alam
gadis-gadis berdaging samar
lambaikan senyum tangiskan salam

kutinggalkan dermaga Wangi-wangi
angin gemetar merangkum nafasmu wangi
tahun depan, angin timur mengarak kenangan
aku datang mengepang rambutmu jadi delapan

Wangi-wangi, April 2008


Sajak-Sajak Sidin La Hoga

KABANTI KAMBA-KAMBA WOLIO

Pagi ini bila murhum terrapati,
Dan sudut-sudut kota kutelusuri.
Asing, seperti kota mati.

Ada selaksa merindu,
Satu cerita kamba-kamba wolio
menyemarak-serikan tana butuni
Ada selaksa hasrat,
Latunkan kidung kabanti wolio
menggema-gaungnya kepenjuru negeri

Hanya jerit anak-anak dipesisir baruta
seperti mengiba budaya:
Lempar om, buang om, koin recehnya bos!

Meredam jerit leluhur
yang gentayangan dari alam kubur
karena sejarah kian mengabur

Dimana: " tapoangka-angkataka, taposau-sauaka,
tapomae-maeaka, tapo pia-piaraaka"
Ikrar yang terpancang kokoh
di empat tonggak Istana Malige
atau "kabarkatina tana wolio"
Sumber keajaiban tetua-tetua kita dulu

Kuurai-urai di silsilah raja-raja buton
kurangkai-rangkai di kemegahan tembok keraton
Kugali-gali di kedalaman pusar bumi,
Kucari-cari di kibaran bendera mesjid badia
Kukaji-kaji dalam huruf arab gundul
Namun tak kupahami lagi maknanya

Pagi ini, bila murhum terlewati
akan terus kulantunkan kidung itu
agar bolimo karo somanamo lipu
bukan sekadar prasasti bisu.

Buton, Maret, 1995























Sajak-Sajak Sidin La Hoga

KEKASIH MATA LANGIT


Hingga dipersimpangan abadpun
Daku senantiasa menjelajahimu
Kekasih mata langit, Rindukah juga dikau padaku?

Darah dan airmata sudah kubasuh
Peluh dan liur sudah kuseduh
Namun gejolak kesangsian selalu merajam nafas
Dan beratus-ratus bayangan silam
Mengoyak-goyak segala kejelataanku.

Daku petualang renta,
Yang dikurung dogma tertabukan
Yang dibuai rasa terbutakan
Daku pecinta edan,
Yang mengencani kenangan-kenangan
Yang menikahi impian-impian
Hingga terobsesi kejalangan mata langit

Hekasih mata langit,
Murkalah hidupku yang kaku
Dan sesekali berpalinglah
pada keluasan langitmu.
Lalu mahfumkanlah hijrahku ke langit-langit.

Sebab cinta ternyata
Cuma sebatas persinggahan
Yang menguras sendi-sendi keperjakaanku
Yang membelenggu segala nafsu
Sebab hidup ternyata
Cuma sekadar petualangan,
Yang menyatu di samudera-samudera
Yang menyepi di pulau-pulau berkarang,
serta malampaui matahari

Segala suara menyeru padaku :
"Tinggalkanlah panggungmu,
Bangunlah planet-planet di langit
lalu bertahtalah!"

hingga tiba pada ketetapanku:
Daku harus bertualang di langit-langit.
Dan bila dikau merindu, kekasih mata langit.
Tengoklah sejenak di kebeningan mata langit.

Kendari, Maret 2002
















Sajak-Sajak Sidin La Hoga

KERAJAAN BATU-BATU

Duli paduka yang dipertuan agung
Hamba bertandang dengan segenap mata jari
Mengapai-gapai
Bawa isyarat kearifan insani.
Hamba menyeru dengan segenap mata hati
Tergadai-gadai
Bawa hakekat martabat

Duli paduka yang dipertuan agung
Inikah kerajaan batu-batu
Yang dibangun diatas gundukan batu
Hingga kami dirubah jadi batu,
Diukir jadi arca batu,
Dirangkai jadi tembok batu,
Kaki batu,
tangan batu,
Lidah batu,
kepala batu.
Semua membatu

maka jadilah kami gundukan batu
karena di sini hanya gundukan batu
yang berharga dan dapat dibuat apa saja
maka jadilah kami ukiran arca batu.
Karena disini hanya arca batu
yang dipercaya dan di sembah-sembah
maka jadilah kami tembok batu
karena disini hanya tembok batu
yang senantiasa aman dan bertahan hidup
Duli paduka yang menguasai batu
Inikah kerajaan batu–batu
yang dijaga penguasa-penguasa
bermuka batu
berotak batu
bersukma batu
Semua membatu

maka berhati-hatilah
sebab serapi-rapinya kuburan batu
yang paduka timbun di jasad-jasad kami.
Takkan bisa menghalangi kelahiran
dan reinkarnasi-reinkarnasi kami
sedalam-dalamnya sumur batu
yang paduka gali di tanah kelahiran kami.
Takkan bisa menampung peluh
dan amarah-amarah kami
semegah-megahnya istana batu
yang paduka pertontonkan di negeri kami
takkan mampu meredam dendam
dan gejolak perjuangan-perjuangan kami

Maka berjaga-jagalah
Sebab kami akan datang sebagai menara batu
yang akan menyumbat perut batumu,
menimpuki muka batumu
menyumpal otak batumu
mengoyak-ngoyak sukma batumu
dengan batu-batu.
Lalu mengutukmu menjadi arca batu
jadi batu

Kendari, 2001
Sajak-Sajak Abdul Razak Abadi

LUMBA-LUMBA
: sr

lelaki hutan: getah pandan, kamera sampan
buku cerita dan kain bergambar
riak air mengukur detak jantungmu

di tanganmu, sebuah matahari meleleh
bekas jarum dan rambut lelakimu
menusuk peparu, serta mengikat rahim
kudengar kau memanggilku dalam botol plastik
selang yang mengurat raut keningmu
kau berbisik: karamba, lumba-lumba, dan keranda

ai na
matamu seperti kunang-kunang
yang keluar dari kuku moyangku
dan tak pernah habis kutarik dengan larik
bagai dua bocah main layangan di suaka:
menjadi serdadu, dan kulit dayak singkawang
keduanya tak pernah kau timang

keinginan itu peluru laras di leste, katamu
maka datanglah tanpa keranda
lumba-lumba bermain bola di karamba

Konawe, 2010




Sajak-Sajak Abdul Razak Abadi

KUTANG PANCARA

kutunggu engkau di pancara
melewati sungai konaweha
perempuan pasir menyimpan pokea di kutangnya
jangan takut tenggelam
kita buka dengan kancing baju
agar keringatmu menderas

sudah lama mengail dakimu apung
tapi tak pernah tenggelam lelah
belum bisa mengeja titahmu tatih
padahal kau memanggilku lelaki air
setelah menyelam dalam tangis anakmu
apakah aku mirip perempuan batu menangis?

kutunggu engkau di pancara
menjadi bilalmu
dan dayung masa tuamu
apakah engkau akan datang kutangku?

kutang yang engkau titipkan padaku
sudah kupenuhi beras
kau tak perlu memelas
dua tiga lelaki mendayung tubuhmu

Laosu, 2010




Sajak-Sajak Sendri Yakti
KUTUKAN SUNGAI
Aku memeram batu-batu dan semak di dada
agar ketuk tak bergaung
dan spada tak mampir memekak
cuma boleh decak,
atau tepuk dari muara yang berkecipak.
[kutuk yang mengerak di rusuk].
Tapi pertemuan tiba-tiba itu,
membakar lingkar onak di jemari
memecahhanguskan batu-batu
menjadi tetaburan pasir yang berhinggapan di geraigerai
kukirim embun dan debu tiap saat
seperti laron dan kupu yang juga kau paketkan
tanpa kausal yang jelas.
waktu mengutuk kita menjadi pencemas,
perindu yang tak berani menggumam dan mendesah
sebatas upik abu yang memikat periperi,
meruahkan mawar di relung pangeran
dan bergegas di celah dentang
“sepatu yang kutinggal akan menggeruslepas kutukan,
ritual dari sungai yang mengaliri tubuhku”
Tapi keajaiban tak selalu tiba-tiba
tak ada sepatu yang kutanggal
kereta hanya mengantar adam,
yang bersulang dari deras sungai di mataku
Kuku memenuh inai
gaun yang dilicinkan
dasi berlapis cindai
erat belukar di tangan
ah
onak yang mesti kusemat kembali
151005





Sajak-sajak Sendry Yakti

MOSAIK YANG RETAK

Udara mengabarkan pilu yang ranggas,
kemarau di surat dan dering telepon malam hari
berulang kukatakan, jangan hansel dan gretel!
tapi tetap kau buang serpih roti di deret pinus hutan,
bukan batu atau kayu.
dan burung itu, bergegas mematuki remah
hingga kau menangis semalaman,
merindui cermin dan matahari
Dan aku, kehilangan pekat matamu
Dari hutan, suratmu pernah sampai padaku
hijau, coklat, lalu putih dan mengusam
sedang di kamar, telanjur kurekat kacakaca
hijau, kuning, juga merah yang benderang
mosaik : cermin dan mataharimu
Lantas, kacakaca memantulkan hijau pinus tempatmu,
kulihat kau menari, senyummu memekar mawar
kulihat burung itu menari denganmu,
matanya nanar meliar
petir berlarian di dadanya,
berkejaran di kuning merah kaca-kaca
menggelegarretakkan mosaik
Dan aku, kehilangan pekat mataku
2006







Rabu, 17 Maret 2010

PEDOMAN LOMBA BACA PUISI

Pedoman Umum
1. Lomba Baca Puisi Se- Sultra III dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan apresiasi sastra di kalangan masyarakat Sulawesi Tenggara .
2. Peserta terbuka untuk seluruh masyarakat Sulawesi Tenggara. Berusia 16 tahun ke atas.
3. Pemenang lomba tidak dibedakan antara pria dan wanita.
4. Lomba baca puisi dilaksanakan dalam dua babak, yaitu babak penyisihan dan babak final. Babak penyisihan dimaksudkan untuk memilih 10 peserta terbaik yang berhak tampil dalam babak final.
5. Pengambilan nomor undian dilaksanakan sehari sebelum pelaksanaan lomba/saat Technical Meeting.
6. Peserta mendaftarkan diri dengan formulir yang telah disediakan panitia dan dikenakan biaya pendaftaran lomba sebesar Rp 30.000,-
7. Pemenang lomba mendapat uang pembinaan, piala, dan piagam penghargaan. Total hadiah Rp.4.500.000,-.

Pedoman Peserta

1. Peserta ialah mereka yang telah mendaftarkan diri, mengikuti technical meeting serta memenuhi ketentuan lomba yang berlaku.
2. Peserta sudah berada di tempat selambat – lambatnya 30 menit sebelum acara lomba dimulai.
3. Peserta yang tiba gilirannya akan dipanggil sesuai dengan nomor peserta. Apabila peserta yang nomornya dipanggil 3 (tiga) kali berturut–turut, tidak tampil dipentas yang telah disediakan, dianggap mengundurkan diri dan dinyatakan gugur sebagai peserta.
4. Peserta membawakan satu puisi yang telah dipilih dari puisi yang telah disiapkan oleh panitia.
5. Puisi yang telah dibawakan pada babak penyisihan, tidak diperkenankan dibawakan kembali pada babak final.


Pedoman Juri

1. Juri sudah harus berada di tempat selambat-lambatnya 15 menit sebelum lomba dimulai.
2. Selama lomba berlangsung, juri tidak diperkenankan melakukan percakapan dengan siapapun.
3. Apabila juri membutukan waktu istrahat, bisa mengusulkan lewat penyelenggara.
4. Juri berhak menghentikan atau mengulang peserta yang sedang pada gilirannya, apabila merasa tergangggu, lewat penyelenggara.
5. Dewan Juri menentukan pemenang lomba.
6. Dewan Juri bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya kepada penyelenggara.


Pedoman Pelaksana

1. Pelaksana berkewajiban memberikan keterangan sejelas-jelasnya mengenai lomba baca puisi tersebut.
2. Pelaksana berkewajiban melayani peserta dan dewan juri selama lomba berlangsung.
3. Pelaksana mengatur penyelenggaraan dari ketertiban selama lomba berlangsung.
4. Pelaksana berhak menghentikan jalannya acara lomba apabila terjadi sesuatu yang dapat merugikan peserta maupun konsentrasi dewan juri.
5. Pelaksana tidak berhak mencampuri masalah penilaian yang menjadi hak dan wewenang dewan juri.
6. Pelaksana adalah jembatan yang menghubungkan kepentingan peserta, dewan juri, dan penyelenggaraan sesuai dengan tata tertib yang berlaku.

Pelaksanaan

1. Pendaftaran dibuka tanggal 13 Maret – 13 April 2010, bertempat di Sekretariat Panitia.
2. Technical Meeting di tempat lomba tanggal 14 April 2010 pukul 15.30 wib.
3. Perlombaan
a. Penyisihan : 15-16 April 2010
b. Final : 17 April 2010
c. Tempat : Taman Budaya Provinsi Sulawesi Tenggara
4. Pengumuman juara dan penyerahan hadiah dilaksanakan pada tanggal 17 April , 2010 di tempat lomba.
5. Keterangan selanjutnya akan disampaikan di technical meeting.



Sekretaris Panitia

Sekretaris : Jl. Kol. H. Abdul Hamid, Komp. Pasar Buah No. 21, Arus Kedai Kopi plus Wuawua Kendari
Kontak: Inal (085253973395), Tien (085242938328)
E-mail: komunitas_arus@yahoo.com


Penutup

Kegiatan ini adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan sebagai upaya untuk membangun kesadaran dan mencanangkan dalam hati generasi muda bahwa perubahan dan kreativitas hidup harus selalu dilakukan. Semoga bermanfaat dan bermakna.